Sabtu, 30 April 2011

Janganlah uKhti percaya akan ramalan Bintang

sumber : akhwat.web
بسم الله الحمن الرحيم
Penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah
Horoskop atau mudahnya kita sebut ramalan nasib seseorang dengan melihat bintang kelahirannya, termasuk satu kolom atau rubrik yang laris manis di surat kabar, tabloid, ataupun majalah. Bahkan bisa ditanyakan lewat sms ke paranormal tertentu yang memasang iklan di sejumlah media. Yang berbintang pisces, pantasnya berjodoh dengan yang berbintang A. Keberuntungan di tahun ini demikian dan demikian… Dalam waktu-waktu dekat ini ia jangan bepergian keluar kota karena bahaya besar mengancamnya di perjalanan. Untuk yang berbintang sagitarius, tahun ini lagi apes… Tapi di penghujung tahun akan untung besar, maka bagusnya ia usaha begini dan begitu… Cocoknya ia mencari pasangan gemini. Demikian contoh ramalan yang ada!
Anehnya, ramalan dusta seperti ini banyak yang percaya. Bahkan di antara mereka bila melihat surat kabar atau majalah, rubrik dusta ini yang pertama kali mereka baca. Khususnya yang menyangkut bintang kelahiran mereka atau bintang kelahiran kerabat dan sahabat mereka. Ada yang menggantungkan usaha mereka dengan ramalan bintang, untuk mencari jodoh lihat apa bintangnya dan seterusnya.
Meyakini bahwa bintang-bintang memiliki pengaruh terhadap kejadian di alam ini hukumnya haram. Kejadian seperti ini bukan muncul belakangan behkan merupakan keyakinan kuno, keyakinan kaum Namrud, raja yang kafir zalim, yang kepada mereka Nabiullah Ibrahim ‘alaihissalam diutus. Mereka dinamakan kaum Shabi`ah, para penyembah bintang-bintang. Mereka membangun haikal dan rumah-rumah ibadah untuk menyembah bintang-bintang tersebut. Mengakar dalam keyakinan mereka bahwa bintang-bintang mengatur perkara di alam ini. Wallahul musta’an (Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang dimintai pertolongan-Nya), keyakinan syirik tersebut telah diwarisi oleh umat yang datang setelah mereka. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, 2/19)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-bintang bukan untuk dijadikan tandingan-Nya sebagai pengatur alam semesta ini, atau sekadar memberi pengaruh terhadap kejadian di muka bumi. Sungguh, bintang-bintang tidak ada hubungannya dengan nasib dan keberuntungan seseorang.
Qatadah ibnu Di’amah As-Sadusi rahimahullahu, seorang imam yang mulia dalam masalah tafsir, hadits, dan ilmu yang lainnya mengatakan, “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan bintang-bintang ini untuk tiga hikmah atau faedah, Pertama: sebagai penghias langit. Kedua: sebagai pelempar setan. Ketiga: sebagai tanda-tanda dijadikan petunjuk. Siapa yang menafsirkan dengan selain tiga faedah tersebut, sungguh ia telah salah dan menyia-nyiakan bagiannya[1]. Ia juga telah membebani dirinya dengan sesuatu yang tidak memiliki ilmu tentangnya.” (Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya, Kitab Bad`ul Khalqi, bab Fin Nujum)
Faedah pertama dari penciptaan bintang-bintang ditunjukkan seperti dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla:
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ
Sesungguhnya Kami menghiasi langit dunia dengan perhiasan bintang-bintang.” (Ash Shaffat: 6)
Faedah kedua sebagai pelempar setan, seperti dalam ayat:
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ ۖ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
Sungguh Kami telah menghiasi langit dunia dengan pelita-pelita dan Kami jadikan pelita-pelita tersebut sebagai pelempar para setan….(Al-Mulk: 5)
Kenapa setan-setan itu dilempar? Karena mereka berupaya mencuri berita dari para malaikat di langit untuk kemudian disampaikan kepada dukun/tukang ramal, kekasih mereka dari kalangan manusia. Lalu dukun ini mencampurinya dengan seratus kedustaan.
Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, para setan ini bebas mencuri berita dari langit. Namun ketika beliau telah diangkat sebagai nabi dan rasul, Allah ‘Azza wa Jalla menjaga langit dengan panah-panah api yang dilepaskan dari bintang-bintang sehingga membakar dan membinasakan setan yang jahat tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla menyampaikan kepada kita pengabaran para jin tentang diri mereka dalam ayat-Nya yang mulia:
وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ ۖ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا
Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui rahasia langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan berita-beritanya. Tetapi sekarang barangsiapa yang mencoba mendengar-dengarkan seperti itu tentu akan menjumpai panah api yang mengintai untuk membakarnya. Dan sungguh dengan adanya penjagaan tersebut kami tidak mengetahui apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.(Al-Jin: 8-10)
Faedah ketiga, bintang-bintang dijadikan sebagai tanda/petunjuk arah dan semisalnya. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَأَلْقَىٰ فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kalian dan Dia menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kalian mendapatkan petunjuk. Dan Dia ciptakan tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. (An-Nahl: 15)
Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan tanda-tanda di bumi dan di langit bagi musafir sebagai penunjuk arah bagi mereka. Tanda-tanda di bumi seperti jalan-jalan dan gang-gang, demikian pula gunung-gunung. Tanda-tanda di langit berupa bintang, matahari dan bulan. Orang-orang menjadikan bintang-bintang sebagai petunjuk/tanda bagi mereka ketika mereka melakukan perjalanan. Terlebih lagi di tengah lautan yang tidak bergunung dan tidak ada rambu-rambu. Demikian pula perjalanan di malam hari, dengan melihat bintang tertentu mereka jadi mengerti arah sehingga mereka bisa menuju arah yang mereka inginkan. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 2/21)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۗ قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang untuk kalian agar kalian menjadikannya sebagai petunjuk dalam kegelapan di daratan dan di lautan.(Al-An’am: 97)
Maksudnya, dengan bintang-bintang tersebut kalian dapat mengetahui arah tujuan kalian (dalam perjalanan). Bukankah yang dimaksudkan di sini bahwa bintang-bintang itu dijadikan petunjuk dalam ilmu gain, sebagaimana diyakini oleh para ahli nujum. (Fathul Majid, 2/529)
Siapa yang ingin menambah lebih dari tiga perkara ini seperti meyakini bintang-bintang itu menunjukkan kejadian di muka bumi, turunnya hujan, berhembusnya angin, kematian atau kehidupan seseorang, maka semuanya itu mengada-ada dan mengaku-aku tahu ilmu gaib. Padahal tidak ada yang tahu tentang perkara gaib kecuali hanya Allah ‘Azza wa Jalla. Dia Yang Maha Suci berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah (ya Muhammad) tidak ada seorang pun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara gaib kecuali Allah saja.” (An-Naml: 65)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullahu berkata mengomentari ucapan Qatadah di atas, “Perhatikanlah kemungkaran yang diingkari oleh Imam ini yang terjadi di masa tabi’in hingga sampai pada puncaknya di masa-masa ini. Bala merata di seluruh penjuru negeri, baik sedikit maupun banyak. Namun jarang didapatkan orang yang mengingkarinya dalam agama. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Fathul Majid, 2/528-529)
Meramal nasib dengan gerakan-gerakan bintang dan bentuknya termasuk dalam apa yang diistilahkan dengan ilmu ta`tsir, yaitu keyakinan bahwa bintang-bintang memberi pengaruh di alam ini. Ilmu ini haram hukumnya. Ilmu ini terbagi tiga macam, sebagiannya lebih haram daripada yang lainnya.
Pertama: meyakini bahwa bintang-bintang itulah yang menjadikan peristiwa-peristiwa di alam ini baik berupa kebaikan ataupun kejelekan, sakit ataupun sehat, paceklik ataupun panen raya, dan selainnya. Sumber kejadian di alam ini adalah gerakan-gerakan dan bentuk-bentuk bintang. Keyakinan kaum Shabi`ah ini merupakan penentangan kepada Sang Pencipta ‘Azza wa Jalla, karena menganggap adanya pencipta selain Dia, dan merupakan kekufuran yang nyata berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Kedua: seseorang tidak meyakini bahwa bintang-bintang itu yang menjadikan peristiwa di alam ini. Tapi menurutnya bintang-bintang itu hanya sebab yang memberi pengaruh. Adapun yang menciptakan adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Keyakinan ini pun batil, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menjadikan bintang-bintang itu sebagai sebab, dan bintang tersebut tidak ada hubungannya dengan apa yang berlangsung di alam ini.
Ketiga: menjadikan bintang-bintang sebagai petunjuk atas kejadian yang akan datang. Ini merupakan bentuk pengakuan terhadap ilmu gaib, masuk dalam katagori perdukunan serta sihir. Hukumnya kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin rahimahullah 2/5,6)
Ketiga macam ilmu ta`tsir ini batil, kata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah. Namun sayangnya, perkara batil ini disebarkan di kolom khusus pada sebagian majalah yang tidak berpegang dengan ajaran Islam. Disebutkan bahwa pada bintang A akan diperoleh ini dan itu bagi siapa yang melangsungkan pernikahan, atau siapa yang berjual beli akan beroleh laba. Sementara bintang B nahas/sial. Semua itu termasuk keyakinan jahiliah. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, 2/25)
Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ilmu nujum (perbintangan) yang terlarang adalah ilmu yang diaku-akui oleh ahli nujum bahwa mereka punya pengetahuan tentang alam dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa datang. Seperti, kapan waktu berhembusnya angin dan datangnya hujan, dan kapan terjadi perubahan harga, ataupun yang semakna dengannya berupa perkara-perkara–menurut pengakuan dusta mereka– yang dapat diketahui dari perjalanan bintang-bintang di garis edarnya dan dari berkumpul atau berpisahnya bintang-bintang tersebut. Mereka mengaku-aku bahwa bintang-bintang tersebut punya pengaruh terhadap alam bawah (bumi).” (Ma’alimus Sunan 4/230, sebagaimana dinukil dalam Fathul Majid 2/527)
Demikianlah. Maka jangan percaya dengan bualan si tukang ramal, apapun sebutan untuknya. Jangan pula percaya dengan omong kosong ramalan bintang. Jangan korbankan akidah dan jangan rusak tauhid anda! Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
[1] Karena ia telah menyibukkan dirinya dengan perkara yang memudharatkannya dan tidak memberikan manfaat kepadanya. (Fathul Majid, 2/530

Kunci-Kunci Surga

Ibarat sebuah pintu, surga membutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.
Tetapi Anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda:
“Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga.“ (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shahih).
Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illallah, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, tetapi mereka masih meminta-minta (berdoa dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga? Tentu tidak mungkin!
Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illallah itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al Imam Wahab bin Munabbih (seorang tabi’in terpercaya dari Shan’a yang hidup pada tahun 34-110 H), “Bukankah Laa ilaaha illallah itu kunci surga?” Wahab menjawab: “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan dibukakan untukmu!”
Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illallah itu?
Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illallah itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illallah. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qashim Al Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illallah itu ada delapan, yaitu:
Pertama: Al ‘Ilmu (mengetahui)
Maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illallah secara benar. Adapun artinya adalah: “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi Anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.
Kedua: Al Yaqin (Meyakini)
Maksudnya adalah Anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illallah tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Ketiga: Al Qobul (Menerima)
Maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illallah dengan senang hati, baik secara lisan maupun perbuatan, tanpa menolak sedikit pun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang digambarkan oleh Allah dalam Al Qur’an:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ * وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka: (ucapkanlah) Laa ilaaha illallah, mereka menyombongkan diri seraya berkata: Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini?” (Ash Shaffat: 35-36).
Keempat: Al Inqiyad (Tunduk Patuh)
Maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illallah dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ
“Kembalilah ke jalan Tuhanmu, dan tunduklah kepada-Nya.“ (Az-Zumar: 54).
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” (Luqman: 22).
Kelima: Ash Shidq (Jujur atau Benar)
Maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illallah, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa disertai kebohongan sedikit pun.
Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Keenam: Al Ikhlas (Ikhlas)
Maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Ketujuh: Al Mahabbah (Cinta)
Maksudnya Anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang dicintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah di atas segala-galanya).” (Al-Baqarah: 165).
Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahlus syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illallah.(ed,).
Kedelapan: Al Kufru bimaa Siwaahu (Mengingkari Sesembahan yang Lain)
Maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah), yang tidak akan putus….” (Al-Baqarah: 256).
Saudaraku kaum muslimin, dari sini dapatlah kita ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah!
Wallahu a’lamu bish shawwab

Kamis, 14 April 2011

aDab BerbicaRa bagi Muslimah..

Wahai saudariku muslimah………

1) Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara, Allah Ta’ala berfirman:

” لا خير في كثير من نجواهم إلا من أمر بصدقة أو معروف أو إصلاح بين الناس ” (النساء: الآية 114).

Artinya:

“Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia “. (An nisa:114)


Dan ketahuilah wahai saudariku,semoga Allah ta’ala merahmatimu dan menunjukimu kepada jalan kebaikan, bahwa disana ada yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu.

“عن اليمين وعن الشمال قعيد. ما يلفظ من قولٍ إلا لديه رقيب عتيد ” (ق: الآية 17-18)

Artinya:

“Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf:17-18).

Maka jadikanlah ucapanmu itu menjadi perkataan yang ringkas, jelas yang tidak bertele-tele yang dengannya akan memperpanjang pembicaraan.

1) Bacalah Al qur’an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala yang besar dihari kiamat nanti.

عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما- عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” يقال لصاحب القرآن: اقرأ وارتق ورتّل كما كنت ترتّل في الدنيا فإن منزلتك عند آخر آية تقرؤها رواه أبو داود والترمذي

Dari abdullah bin ‘umar radiyallohu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda:

dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.

HR.abu daud dan attirmidzi

2) Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang engkau dengarkan, karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam kedustaan.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” كفى بالمرء كذباً أن يتحدّث بكل ما سمع “

Dari Abu hurairah radiallahu ‘anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan.”

(HR.Muslim dan Abu Dawud)

3) jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu, dengan tujuan membanggakan diri dihadapan manusia.

عن عائشة – رضي الله عنها- أن امرأة قالت: يا رسول الله، أقول إن زوجي أعطاني ما لم يعطني؟ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” المتشبّع بما لم يُعط كلابس ثوبي زور “.

Dari aisyah radiyallohu ‘anha, ada seorang wanita yang mengatakan:wahai Rasulullah, aku mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam,: orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (muttafaq alaihi)

4) Sesungguhnya dzikrullah memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim, kejiwaannya, jasmaninya dan kehidupan masyarakatnya. maka bersemangatlah wahai saudariku muslimah untuk senantiasa berdzikir kepada Allah ta’ala, disetiap waktu dan keadaanmu. Allah ta’ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya:

” الذين يذكرون الله قياماً وقعوداً وعلى جنوبهم… ” (آل عمران: الآية 191).

Artinya:

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…” (Ali imran:191).

5) Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata, sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, dimana Beliau bersabda:

” وإن أبغضكم إليّ وأبعدكم مني مجلساً يوم القيامة الثرثارون والمتشدقون والمتفيهقون “.

“sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta’ajjub terhadap ucapannya.”

(HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiallahu anhu)

6) Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara dan berceloteh.jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai teladan bagimu, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya.bahkan jadikanlah setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan, dan jika tidak, maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda:

” من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت “.

” Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam.”

(muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)

8) jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya, atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu, dan ketika harus membantahnya, maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik sebagai syi’ar kepribadianmu.

9) berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara orang lain, seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara.Alah Ta’ala berfirman:

” يا أيها الذين آمنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيراً منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن خيراً منهن ” (الحجرات: الآية 11).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.”

(QS.Al-Hujurat:11)

10) jika engkau mendengarkan bacaan Alqur’an, maka berhentilah dari berbicara, apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam firman-Nya:

: ” وإذا قرىء القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون ” (الأعراف: الآية 204).

Artinya: “dan apabila dibacakan Alqur’an,maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat”. Qs.al a’raf :204

11) bertakwalah kepada Allah wahai saudariku muslimah,bersihkanlah majelismu dari ghibah dan namimah (adu domba) sebagaimana yang Allah ‘azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya. bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah perkataan-perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk kepada kebaikan. perkataan itu adalah sebuah perkara yang besar, berapa banyak dari perkataan seseorang yang dapat menyebabkan kemarahan dari Allah ‘azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka. Didalam hadits Mu’adz radhiallahu anhu tatkala Beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

” ثكلتك أمك يا معاذ. وهل يكبّ الناس في النار على وجوههم إلا حصائدُ ألسنتهم ” ( رواه الترمذي).

“engkau telah keliru wahai Mu’adz, tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka.”

(HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah)

12- berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya, dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan.

13- jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama dengan sebagian saudarimu, maka senantiasalah untuk berdzikir mengingat Allah ‘azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala. Allah ‘azza wajalla berfirman:

” الذين يذكرون الله قياماً وقعوداً وعلى جنوبهم “. (آل عمران: الآية 191)

Artinya: “(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring” (QS..ali ‘imran :191)

14- jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan:

” سبحانك الله وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك “.

“maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu”

Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.

sumber; akhwat.web

Sabtu, 02 April 2011

Kunci - Kunci Surga

بسم الله الرحمن الرحيم

sumber : akhwat.web

         Ibarat sebuah pintu, surga membutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.
Tetapi Anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda:
“Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga.“ (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shahih).
Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illallah, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, tetapi mereka masih meminta-minta (berdoa dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga? Tentu tidak mungkin!
Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illallah itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al Imam Wahab bin Munabbih (seorang tabi’in terpercaya dari Shan’a yang hidup pada tahun 34-110 H), “Bukankah Laa ilaaha illallah itu kunci surga?” Wahab menjawab: “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan dibukakan untukmu!”
Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illallah itu?
Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illallah itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illallah. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qashim Al Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illallah itu ada delapan, yaitu:
Pertama: Al ‘Ilmu (mengetahui)
Maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illallah secara benar. Adapun artinya adalah: “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi Anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.
Kedua: Al Yaqin (Meyakini)
Maksudnya adalah Anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illallah tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Ketiga: Al Qobul (Menerima)
Maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illallah dengan senang hati, baik secara lisan maupun perbuatan, tanpa menolak sedikit pun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang digambarkan oleh Allah dalam Al Qur’an:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ * وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka: (ucapkanlah) Laa ilaaha illallah, mereka menyombongkan diri seraya berkata: Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini?” (Ash Shaffat: 35-36).
Keempat: Al Inqiyad (Tunduk Patuh)
Maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illallah dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ
“Kembalilah ke jalan Tuhanmu, dan tunduklah kepada-Nya.“ (Az-Zumar: 54).
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” (Luqman: 22).
Kelima: Ash Shidq (Jujur atau Benar)
Maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illallah, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa disertai kebohongan sedikit pun.
Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Keenam: Al Ikhlas (Ikhlas)
Maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Ketujuh: Al Mahabbah (Cinta)
Maksudnya Anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang dicintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah di atas segala-galanya).” (Al-Baqarah: 165).
Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahlus syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illallah.(ed,).
Kedelapan: Al Kufru bimaa Siwaahu (Mengingkari Sesembahan yang Lain)
Maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah), yang tidak akan putus….” (Al-Baqarah: 256).
Saudaraku kaum muslimin, dari sini dapatlah kita ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah!
Wallahu a’lamu bish shawwab.

Doa Keimanan Di Akhir Hayat

بسم الله الرحمن الرحيم
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا
ۚ رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ
رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدتَّنَا عَلَىٰ رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
ۗ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ
“Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Rabb-mu”, maka kami pun beriman. Wahai Rabb kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. Wahai Rabb kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (Ali Imran: 193-194)

Menyebarkan Salam (^-^)

bismillahirrahmanirrahim.

Satu kebiasaan yang ringan namun bisa jadi jarang diterapkan di tengah keluarga kita adalah menyebarkan salam. Padahal banyak buah kebaikan yang bisa dipetik dari ucapan yang mengandung muatan doa ini.
Salah satu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat muslim adalah menyebarkan salam. Karena dengannya akan tumbuh rasa saling cinta di antara mereka, biarpun tidak saling mengenal.
Betapa banyak kita temui anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita untuk menyebarkan salam. Sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيْلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَسَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam.” Beliau pun ditanya, “Apa saja, ya Rasulullah?” Jawab beliau, “Jika engkau bertemu dengannya, ucapkan salam kepadanya. Jika dia memanggilmu, penuhi panggilannya. Jika dia meminta nasihat kepadamu, berikan nasihat kepadanya. Jika dia bersin lalu memuji Allah, doakanlah dia1. Jika dia sakit, jenguklah dia; dan jika dia meninggal, iringkanlah jenazahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)
Dinukilkan pula oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak akan sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan, dalam hadits ini terdapat anjuran kuat untuk menyebarkan salam dan menyampaikannya kepada seluruh kaum muslimin, baik yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal. (Syarh Shahih Muslim, 2/35)
Beliau juga menjelaskan bahwa ucapan salam merupakan pintu pertama kerukunan dan kunci pembuka yang membawa rasa cinta. Dengan menyebarkan salam, semakin kokoh kedekatan antara kaum muslimin, serta menampakkan syi’ar mereka yang berbeda dengan para pemeluk agama lain. Di samping itu, di dalamnya juga terdapat latihan bagi jiwa seseorang untuk senantiasa berendah diri dan mengagungkan kehormatan kaum muslimin yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 2/35)
Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menukilkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَفْشُوا السَّلاَمَ تَسْلَمُوْا
“Sebarkanlah salam, niscaya kalian akan selamat.” (HR. Ahmad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 604: hasan)
Maksudnya di sini, kalian akan selamat dari sikap saling menjauh dan pemutusan hubungan, serta akan langgeng rasa saling cinta di antara kalian. Hati kalian pun akan bersatu, dan hilanglah permusuhan serta pertikaian. (Faidhul Qadir, 2/22)
‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
اعْبُدُوا الرَّحْمَنَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَأَفْشُوا السَّلاَمَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِالسَّلاَمِ
“Ibadahilah Ar-Rahman, berikan makanan dan sebarkan salam, niscaya kalian akan masuk ke dalam surga dengan selamat.” (HR. At-Tirmidzi no. 1855, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahuShahih Sunan At-Tirmidzi: shahih) dalam
Banyak nukilan ucapan para salaf kita yang shalih yang menunjukkan keutamaan mengucapkan salam. Di antaranya dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ السَّلاَمَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ وَضَعَهُ اللهُ فِي اْلأَرْضِ، فَأَفْشُوْهُ بَيْنَكُمْ، إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا سَلَّمَ عَلَى الْقَوْمِ فَرَدُّوا عَلَيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَضْلُ دَرَجَةٍ، لِأَنَّهُ ذَكَّرَهُمُ السَّلاَمَ، وَإِنْ لَمْ يُرَدَّ عَلَيْهِ رَدَّ عَلَيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ وَأَطْيَبُ
“Sesungguhnya As-Salam adalah salah satu nama Allah yang Allah letakkan di bumi, maka sebarkanlah salam di antara kalian. Sesungguhnya bila seseorang mengucapkan salam kepada suatu kaum, lalu mereka menjawab salamnya, maka dia memiliki keutamaan derajat di atas mereka karena dia telah mengingatkan mereka dengan salam. Dan bila tidak dijawab salamnya, maka akan dijawab oleh makhluk yang lebih baik darinya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 793: shahih secara mauquf, shahih juga secara marfu’)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan:
أَبْخَلُ النَّاسِ الَّذِي يَبْخَلُ بِالسَّلاَمِ
“Orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil untuk mengucapkan salam.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 795: shahih secara mauquf, shahih juga secara marfu’)
Setelah mengetahui keutamaan amalan ini serta pentingnya dalam kehidupan masyarakat muslimin, tentu tak layak bila kita remehkan. Lebih-lebih berkaitan dengan pendidikan anak-anak kita. Semenjak awal mestinya mereka dikenalkan dan dibiasakan dengan ucapan salam sebagaimana yang diajarkan oleh syariat ini.
Bagaimana mungkin akan kita biarkan anak-anak kita saling mengucapkan salam atau melontarkan sapaan dengan ucapan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau bahkan mengadopsi dari kebiasaan orang-orang kafir? Betapa banyak kaum muslimin yang masih membiasakan anak-anak mereka ketika berpisah melambaikan tangan sambil mengatakan, “Daaag!” Atau ketika bertemu dengan anak-anaknya dia menyapa, “Halo, Sayang!” Begitu pula si anak akan menjawab, “Halo, Papa! Halo, Mama!”
Betapa banyak itu terjadi, dan masih banyak pula gambaran yang lain. Sementara contoh yang begitu gamblang kita dapatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau biasa menyapa dan menyampaikan salam kepada anak-anak para shahabat.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghabiskan masa kecilnya dalam bimbingan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menceritakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى غِلْمَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertemu dengan anak-anak kecil lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka.” (HR. Muslim no. 2168)
Peristiwa yang disaksikan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ini membekas dalam dirinya, sehingga Anas pun melakukannya. Diriwayatkan oleh Tsabit Al-Bunani rahimahullahu, bahwa dia pernah berjalan bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, melewati anak-anak kecil. Lalu Anas mengucapkan salam kepada mereka, dan mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu biasa melakukannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)
Perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini diikuti pula oleh sahabat yang lainnya. Diceritakan oleh ‘Anbasah bin ‘Ammar rahimahullahu:
رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يُسَلِّمُ عَلَى الصِّبْيَانِ فِي الكُتَّابِ
“Aku pernah melihat Ibnu ‘Umar memberi salam kepada anak-anak kecil di kuttab2.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 797: shahihul isnad)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan tentang hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu di atas: “Hadits ini menunjukkan disenanginya memberi salam kepada anak-anak yang berusia tamyiz.” (Syarh Shahih Muslim, 14/148)
Al-Hafizh rahimahullahu menukil penjelasan Ibnu Baththal rahimahullahu: “Dalam pemberian salam kepada anak-anak ini terdapat pendidikan terhadap adab-adab syariat. Di dalamnya terkandung pula sikap menjauhi kesombongan pada diri orang-orang yang besar, perilaku tawadhu’, serta lemah-lembut kepada orang-orang di sekitar.” (Fathul Bari, 11/40-41)
Memperdengarkan Ucapan Salam
Ketika menyampaikan salam, hendaknya seseorang memperdengarkan ucapan salamnya. Diriwayatkan oleh Tsabit bin ‘Ubaid rahimahullahu:
أَتَيْتُ مَجْلِسًا فِيْهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ فَقَالَ: إِذَا سَلَّمْتَ فَأَسْمِعْ، فَإِنَّهَا تَحِيَّةٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكَةٌ طَيِّبَةٌ
“Aku pernah mendatangi suatu majelis yang di situ ada ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Maka beliau berkata, ‘Apabila engkau mengucapkan salam, perdengarkan ucapanmu. Karena ucapan salam itu penghormatan dari sisi Allah yang penuh berkah dan kebaikan’.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 769: shahihul isnad)
Ucapan Salam ketika Datang dan Pergi
Anak-anak sudah semestinya dibiasakan untuk mengucapkan salam ketika datang dan pergi. Perlu pula mereka mengetahui, ucapan salam yang lebih utama. Seseorang yang mengucapkan salam dengan sempurna tentu memiliki keutamaan.
Diceritakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ رَجُلاً مَرَّ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِيْ مَجْلِسٍ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَقَالَ: عَشْرَ حَسَنَاتٍ. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، فَقَالَ: عِشْرُوْنَ حَسَنَةً. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَقَالَ: ثَلاَثُوْنَ حَسَنَةً. فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ وَلَمْ يُسَلِّمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَوْشَكَ مَا نَسِيَ صَاحِبُكُمْ، إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ، فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ، وَإِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ، مَا اْلأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ اْلآخِرَةِ
Ada seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang berada di suatu majelis. Orang itu berkata, “Assalamu ‘alaikum.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat sepuluh kebaikan.” Datang lagi seorang yang lain, lalu berkata, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi.” Beliau bersabda, “Dia mendapat duapuluh kebaikan.” Ada seorang lagi yang datang, lalu mengatakan, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat tigapuluh kebaikan.” Kemudian ada seseorang yang bangkit meninggalkan majelis tanpa mengucapkan salam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Betapa cepatnya teman kalian itu lupa. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi suatu majelis, hendaknya dia mengucapkan salam. Bila ingin duduk, hendaknya dia duduk. Bila dia pergi meninggalkan majelis, hendaknya mengucapkan salam. Tidaklah salam yang pertama lebih utama daripada salam yang akhir.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 757: shahih)
Yang Muda Memberi Salam pada yang Lebih Tua
Hendaknya anak-anak diajari pula agar memberi salam kepada orang yang lebih tua. Demikian yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan beliau yang dinukilkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلَى الْكَبِيْرِ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ، وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْرِ
“Yang kecil memberi salam kepada yang besar, yang berjalan memberi salam kepada yang duduk, yang sedikit memberi salam kepada yang banyak.” (HR. Al-Bukhari no.6234 dan Muslim no. 2160)
Ibnu Baththal rahimahullahu mengatakan, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh rahimahullahu: “Pemberian salam orang yang lebih muda (kepada yang lebih tua, -pent.) disebabkan hak orang yang lebih tua. Karenanya orang yang lebih muda diperintahkan untuk memuliakannya serta bersikap rendah hati kepadanya.” (Fathul Bari, 11/22)
Mengucapkan Salam ketika Masuk Rumah
Hal yang tak patut ketinggalan dalam pembiasaan salam adalah mengucapkan salam ketika masuk rumah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكَةً طَيِِّبَةً
“Apabila kalian memasuki rumah, maka ucapkanlah salam bagi diri kalian sebagai penghormatan dari sisi Allah yang penuh berkah dan kebaikan.” (An-Nur: 61)
Yang dimaksudkan di sini, mencakup rumah miliknya maupun rumah orang lain, baik di rumah itu ada orang ataupun tidak. Makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Maka ucapkanlah salam bagi diri kalian”, hendaknya seseorang mengucapkan salam kepada yang lainnya. Karena kaum muslimin itu bagaikan satu individu, dari sisi saling cinta dan saling menyayangi serta mengasihi di antara mereka. Sehingga ucapan salam disyariatkan ketika memasuki semua rumah, tanpa dibedakan rumah yang satu dengan yang lain. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 575)
Dijelaskan pula oleh para pendahulu kita yang shalih, di antaranya Mujahid dan Qatadah, “Apabila engkau masuk rumah untuk menemui keluargamu, ucapkanlah salam kepada mereka. Apabila engkau masuk rumah yang tak berpenghuni, ucapkanlah: السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/431)
Ini perlu dibiasakan pada anak-anak, karena orang yang masuk rumah dengan mengucap salam memiliki keutamaan. Diriwayatkan oleh Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: (مِنْهَا) وَرَجُلٌ دَخَلَ بَيْتَهُ بِسَلاَمٍ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Ada tiga orang yang mendapat jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, (di antaranya) seseorang yang masuk rumahnya dengan mengucapkan salam, maka dia mendapatkan jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu Dawud no. 2494, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahuShahih Sunan Abi Dawud: shahih) dalam
Menjawab Salam dengan yang Lebih Baik
Tak lepas dari permasalahan ini, anak-anak diajarkan pula cara menjawab salam sebagaimana dituntunkan oleh syariat. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan:
وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا
“Dan apabila kalian diucapkan salam penghormatan, balaslah dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa)…” (An-Nisa`: 86)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan, “Apabila seorang muslim mengucapkan salam kepada kalian, balaslah dengan ucapan salam yang lebih utama daripada yang dia ucapkan, atau balaslah sebagaimana yang dia ucapkan. Sehingga membalas dengan menambah ucapan salam itu disunnahkan, dan membalas dengan ucapan yang sama itu diwajibkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/269)
Demikian yang semestinya dilakukan oleh setiap orangtua dalam menanamkan kebiasaan ini. Begitu pula hendaknya yang ditempuh oleh seorang pengajar yang mendidik anak-anak. Dinasihatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu: “Seorang pengajar apabila memasuki kelas hendaknya mengucapkan salam dengan mengatakan السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ, dan hendaknya dia mengetahui bahwa ini adalah perilaku Islami yang agung, yang memperkuat ikatan cinta dan kepercayaan di antara murid, maupun antara pengajar dengan muridnya.”
Beliau menambahkan: “Tidak sepantasnya salam yang diucapkan itu berupa kalimat ‘selamat pagi’ atau ‘selamat sore’. Namun tidak mengapa bila setelah mengucapkan salam dia ucapkan perkataan itu dengan sedikit perubahan, seperti misalnya ‘Semoga Allah berikan kebaikan padamu pagi ini’, sehingga ucapan itu mengandung makna doa….” (Nida` ilal Murabbiyin wal Murabbiyat, hal. 17)
Inilah tuntunan Islam dalam mempererat hubungan persaudaraan di antara kaum muslimin. Tentunya, harus kita tinggalkan kebiasaan-kebiasaan yang jauh dari tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai gantinya, menghidupkan sunnah yang demikian benderang ini dalam kehidupan kita dan anak-anak kita.
Wallahu ta’ala a’lamu bish­-shawab.
Footnote:
1 Yaitu dengan mengucapkan يَرْحَمُكَ اللهُ 2 Kuttab adalah suatu tempat yang digunakan anak-anak untuk belajar membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur`an.


sumber : akhwat.web

Membangun Istana Kelembutan

Tahun delapanpuluhan, dunia pendidikan Indonesia terhenyak kelabu. Seakan tiada habis tanya, mengapa peristiwa itu terjadi. Namun begitulah. Suratan takdir telah menorehkan peristiwa lain. Seorang bocah yang belum menginjak usia baligh terkapar.
Tubuhnya lebam-lebam, sebagai pertanda dirinya telah dianiaya. Bertubi siksaan, deraan dan pukulan mendarat di sekujur tubuhnya. Dalam ketiadaan daya, dirinya cuma bisa merintih kesakitan. Lalu, iapun meninggalkan alam fana ini. Apa salah bocah itu?
Konon, katanya ia telah mencuri. Atas tindakan bocah ini, orangtuanya pun kalap. Kemarahan membakar hatinya. Maka terjadilah apa yang terjadi. Episode kelabu ini menjadi noktah hitam dalam lembar riwayat dunia pendidikan di Tanah Air.
Kekerasan terhadap anak, telah demikian banyak terjadi. Bahkan, kekerasan yang terjadi tidak sedikit yang dilakukan secara tidak terukur. Dorongan untuk melakukan kekerasan pada anak lebih dikarenakan situasi emosional yang tidak stabil. Nafsu angkara menjadi mudah tersulut kala anak bertindak salah. Struktur kejiwaan seperti ini, ibarat petasan, ia bersumbu pendek. Sekali sulut, langsung meledak. Sekali anak melakukan perbuatan tak berkenan, langsung amarahnya menggelegar. Marah telah menghilangkan kontrol diri. Akibatnya, lisan tak terjaga, tindakan pun membabi buta. Kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, “Sungguh marah itu tidak diragukan lagi telah memberi pengaruh pada manusia, sehingga dirinya berperilaku (dengan) perilaku seperti orang gila.” (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/925)
Berdasar hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي. قَالَ: لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لَا تَغْضَبْ
“Sesungguhnya seorang lelaki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Nasihatilah aku.’ Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Janganlah kamu marah.’ Kalimat itu terus diulang-ulang. Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Janganlah kamu marah’.”(Shahih Al-Bukhari, no. 6116)
Kalimat لَا تَغْضَبْ (janganlah kamu marah), menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, bermakna janganlah kamu menjadi orang yang cepat marah, yang akan memengaruhimu pada setiap sesuatu. Tapi, jadilah dirimu orang yang tenang, tidak cepat marah, karena sesungguhnya kemarahan itu adalah bara api yang dilemparkan setan ke dalam hati manusia. Dengan bara api itu, mendidihlah hati seseorang. Karena ini pula, urat-urat leher dan jaringan pembuluh darah menegang, mata pun memerah. Lalu seseorang melakukan tindakan (agresivitas), setelah itu timbullah penyesalan.” (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/925)
Tentu sebuah sikap bijak, bila mendapati orang yang tengah geram dibakar angkara murka lalu menasihatinya. Nasihat nan bijak ini diharapkan mampu meredam tindakan-tindakan yang bakal tak terkendali. Seperti melakukan agresivitas; pemukulan atau tindakan sadistis lainnya yang tak patut dikenakan pada anak-anak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi contoh terbaik, bagaimana upaya meredam amarah yang tengah menggelegak pada diri seseorang. Nasihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menembus pusat kesadaran. Sehingga, peristiwa pemukulan lantaran sikap amarah berhasil dihentikan. Bahkan tak cuma di situ. Pada diri orang itu tumbuh kesadaran untuk tidak lagi melakukan pemukulan terhadap budak miliknya selama-lamanya. Ini merupakan revolusi perubahan sikap dan perilaku yang mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia.
‘Uqbah bin ‘Amir bin Tsa’labah Al-Anshari atau lebih dikenal dengan nama kunyah Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, bertutur:
كُنْتُ أَضْرِبُ غُلَامًا لِي بِالسَّوْطِ فَسَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ خَلْفِي: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ. فَلَمْ أَفْهَمِ الصَّوْتَ مِنَ الْغَضَبِ، قَالَ: فَلَمَّا دَنَا مِنِّي إِذَا هُوَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَقُولُ: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ، اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ. قَالَ: فَأَلْقَيْتُ السَّوْطَ مِنْ يَدِي، فَقَالَ: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ، أَنَّ اللهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلَامِ. قَالَ: فَقُلْتُ: لَا أَضْرِبُ مَمْلُوكًا بَعْدَهُ أَبَدًا
“Saat aku memukuli budak milikku dengan cambuk, aku mendengar suara dari arah belakang: ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Aku tak memahami suara itu karena sedang marah.”
“Maka tatkala mendekat kepadaku,” kata Abu Mas’ud, “Ternyata dia adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’.”
Kata Abu Mas’ud: “Aku pun melemparkan cambuk yang ada di tangan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih kuasa atas dirimu daripada engkau terhadap budak ini’. Aku berkata: ‘Setelah peristiwa itu, aku tidak lagi melakukan pemukulan terhadap budak selama-lamanya’.” (Shahih Muslim, no. 1659)
Terkait hadits di atas, Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut mengandung motivasi untuk bersikap lemah lembut terhadap budak. Termuat pula nasihat serta kepedulian untuk bersikap pemaaf, menahan diri dari amarah dan menghukum sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum hamba-hamba-Nya. (Al-Minhaj, 11/132)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(Ali ‘Imran: 134)
Meretas pendidikan bagi anak-anak sehingga mereka menjadi generasi berakhlak mulia di masa sekarang ini tidaklah mudah. Berbagai kendala menghadang. Serbuan budaya kekerasan dan sadisme senantiasa mewarnai kehidupan sehari-hari. Aksi-aksi kekerasan dipertontonkan secara vulgar di hadapan anak-anak. Melalui kemampuan meniru yang kuat, seorang anak akan dengan mudah merekam dan menirukan apa yang dilihat dan dirasakannya. Lambat laun budaya itu terserap, mengkristal dalam jiwa anak dan terbentuklah kepribadian anak yang kasar, bengis, beringas, vandalis (suka merusak dengan ganas), dan pemarah. Anak menjadi ringan tangan untuk menyakiti teman-temannya, atau bahkan adiknya sendiri. Satu hal yang sangat ironis sekali, manakala kepribadian tanpa rahmah ini justru terbentuk pada diri anak melalui sikap-sikap yang diperlihatkan orangtua atau gurunya.
Pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang yang bernama Al-Aqra’ bin Habis. Dia seorang ayah yang memiliki sepuluh anak. Satu hari, dia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan, cucu beliau. Lantas Al-Aqra’ bin Habis berucap, “Sungguh, aku memiliki sepuluh anak. Tak satupun dari mereka yang pernah aku cium.” Menimpali ucapan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ
Sesungguhnya siapa yang tak menyayangi, dia tak akan disayangi.
Dalam riwayat lain disebutkan:
مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
Siapa yang tak menyayangi orang lain, Allah tak akan menyayanginya.” (Kisah ini merujuk pada hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dalam Shahih Muslim no. 2318 dan 2319)
Hadits di atas memberikan tekanan yang sangat kuat bahwa keluarga atau komunitas terdekat anak berperan dalam menumbuhkan kepribadian anak yang rahmah. Sarat kelembutan, bertabur kasih sayang. Sulit dan sangat sulit sekali, membangun rumah menjadi istana nan padat kelembutan bila masing-masing anggota keluarga tiada berkepribadian yang rahmah.
Kekerasan, pertengkaran, caci maki, dan dendam kesumat menjadi menu santapan sehari-hari. Maka, kisah di atas memberikan semangat guna melabur kasih kepada anak-anak dan selainnya. Salah satu dari sekian banyak ekspresi untuk ungkapan kasih sayang orangtua kepada anak adalah dengan menciumnya. Inilah dasar pembentukan watak, karakter anak. Inilah manhaj yang sangat bersifat asasi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmah bagi semesta alam.(Al-Anbiya`: 107)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan:
قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ. قَالَ: إِنِّي لَـمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً
“Dikatakan: ‘Ya Rasulullah, doakan kejelekan bagi orang-orang yang berbuat syirik.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sungguh, aku tidaklah diutus sebagai orang yang suka melaknat. Sesungguhnya aku diutus untuk membawa rahmah’.” (Shahih Muslim, no. 2599)
Pendidikan tanpa disertai sikap rahmah akan membawa akibat yang tidak ringan. Sama seperti halnya dalam dakwah. Tanpa sikap yang diliputi rahmah, dakwah bakal membuncah tiada arah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmah dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.(Ali ‘Imran: 159)
Kemudian selisiklah, bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembangkan sikap penuh hikmah, lembut, tidak menampakkan kekerasan terhadap orang Arab badui yang belum mengenyam pendidikan, padahal dia buang air di masjid. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengungkapkan kisah ini dalam haditsnya:
بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَهْ مَهْ. قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُزْرِمُوهُ، دَعُوهُ. فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ، ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: فَأَمَرَ رَجُلًا مِنَ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ
“Ketika kami berada di masjid bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba datang seorang A’rabi (Badui). Kemudian dia berdiri, buang air di masjid. Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Mah, mah.’1 Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jangan hentikan (buang air kecilnya). Biarkan dia.’ Para sahabat pun meninggalkannya hingga orang tersebut menyelesaikan buang air kecilnya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil A’rabi itu dan berbicara kepadanya: ‘Sesungguhnya masjid-masjid ini tidaklah boleh untuk buang air kecil atau buang kotoran. Masjid itu tempat untuk dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalat dan membaca Al-Qur`an.’ –Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam–. Lantas beliau memerintahkan seseorang dari kaum tersebut, maka orang itu datang membawa seember air. Disiramlah bekas buang air kecil tadi.” (Shahih Muslim, no. 285)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu mengungkapkan faedah dari hadits tersebut. Kata beliau, hal itu menunjukkan kebagusan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pengajaran beliau dan sikap lemah lembutnya. Karenanya, hendaklah bagi kita bila berdakwah, menyeru pada perkara yang ma’ruf dan mencegah perkara yang mungkar dilakukan dengan cara yang lemah lembut. Sesungguhnya cara yang lembut akan membuahkan kebaikan. Sebaliknya, cara yang kasar dan galak, bakal membuahkan kejelekan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/921)
Bagaimana bila dikaitkan dengan dunia pendidikan? Tentu pada hakikatnya sama antara dunia dakwah dengan dunia pendidikan. Karenanya, bagi para orangtua, pendidik, pengasuh, dan semua kalangan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan hendaknya bisa mengedepankan sikap lemah lembut ini. Tidak mengedepankan aksi kekerasan, mudah mengayunkan tongkat atau alat pemukul ke tubuh anak didik. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut dan menyukai kelemahlembutan dalam seluruh perkara.” (Shahih Al-Bukhari no. 6927 dan Shahih Muslim no. 2165)
Juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya. Tidak terhadap istri, juga terhadap pelayan. Kecuali saat jihad di jalan Allah.” (Shahih Muslim, no. 2328)
Menurut Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, yang dimaksud hadits itu yaitu memukul istri, pelayan, hewan; dan jika (memukul sesuatu) yang dibolehkan maka dilandasi dengan adab (aturan). Namun, meninggalkannya (yakni tidak memukul, pen.) itu lebih utama. (Al-Minhaj, 15/84)
Karenanya, penting sekali bagi seorang pendidik untuk memiliki sifat al-hilm, at-ta`anni, dan ar-rifq. Yang dimaksud al-hilm, menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, adalah seseorang yang mampu mengendalikan diri ketika marah. Sedangkan at-ta`anni yaitu bersikap tenang dalam menghadapi masalah yang ada. Tidak tergesa-gesa (dalam menyikapi perkara). Adapun ar-rifq, yaitu dalam bergaul dengan sesama manusia yang didasari kelemahlembutan dan merendah. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/914)
Maka, seseorang yang tidak memiliki sifat al-hilm, dirinya akan senantiasa hanyut oleh gelombang kemarahannya. Pikiran jernihnya pupus disapu nafsu angkara murka yang telah merebak dalam dirinya. Sehingga, yang selalu dikedepankan oleh dirinya adalah ‘ilmu kekuatan’ (memukul, mencambuk, dan yang sejenisnya), bukan kekuatan ilmu (nasihat, bimbingan, arahan, dan sejenisnya). Begitu pula dengan sifat at-ta`anni dan ar-rifq. Tanpa memiliki sifat tersebut, seseorang akan tergesa-gesa dalam memutuskan suatu perkara tanpa mau secara bijak menyelami hakikat masalah yang ada pada anak. Ini sering terjadi terkait dalam penerapan sanksi atau hukuman pada anak. Karenanya, penting sekali memahami keadaan anak disertai sifat al-hilm, at-ta`anni, dan ar-rifq.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: ‘Ini jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik’.(Yusuf: 108)
Pengertian بَصِيْرَةٍ pada ayat tersebut adalah ilmu. Yang dimaksud di sini bukan semata ilmu syar’i, namun meliputi pula keadaan mad’u (obyek dakwah) dan ilmu yang mengantarkan kepada tujuan, yaitu al-hikmah. Maka harus dimiliki, bashirah (ilmu) tentang hukum syar’i, bashirah (ilmu) berkenaan dengan keadaan obyek dakwah, dan bashirah (ilmu) terhadap jalan yang mengantarkan kepada hakikat dakwah. Ini selaras dengan apa yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu saat hendak diutus ke Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab.” (Shahih Al-Bukhari, no. 4347, hadits dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma Lihat Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, hal. 119)
Itu berarti, saat mendidik anak, selain memiliki bekal pemahaman agama, seseorang harus pula memahami kondisi anak. Juga tentunya, bagaimana harus memperlakukan anak tersebut. Sehingga dengan kepribadian nan penuh rahmah, dengan memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjadikan rumah, pesantren dan tempat lainnya sebagai istana kelembutan, bukanlah sesuatu yang mustahil. Dari sanalah lahir insan berilmu dan memiliki adab nan luhur.
Wallahu a’lam.

Catatan kaki:
1 Sebuah ungkapan pelarangan. –pen.

sumber: akhwat.web