Jumat, 15 Oktober 2010

WANITA DURHAKA

SUMBER: AKHWAT.WEB

Tak ada gading yang tak retak. Mungkin pribahasa ini sudah sering terlintas di telinga kita. Kandungan pribahasa ini sering kita jumpai dalam kehidupan kita. Apalagi dalam kehidupan berumah tangga yang penuh dengan problema. Awalnya, semua terasa indah. Namun ketika badai menghadang, petir-petir kemarahan menyambar, awan pekat menyelimuti, tangis pilu mengiris hati; membuat semuanya berubah. Semuanya harus diterima sebagai sunnatullah. Kadang kita menangis, dan terkadang kita tertawa. Semua itu berada di bawah kehendak Allah -Subhanahu wa Ta’la- .
Kehidupan berumah tangga akan indah, jika masing-masing anggotanya mendapat ketentraman. Sedang ketentraman akan terwujud jika sesama anggota keluarga saling menghargai, dan memahami tugas masing-masing. Namun, tatkala hal tersebut tidak ada, maka alamat kehancuran ada di depan mata. Diantara penyebab hancurnya keharmonisan itu adalah durhakanya seorang istri kepada suaminya. Maka, pada edisi kali ini kita akan membahas bahaya istri yang durhaka.
Pembaca yang budiman, sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’la- menciptakan istri bagi kita, agar kita merasa tentram dan tenang kepadanya. Sebagaimana firman Allah -Subhanahu wa Ta’la-
“Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum :21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata menafsirkan ayat ini, “Kemudian diantara kesempurnaan rahmat-Nya kepada anak cucu Adam, Allah menciptakan pasangan mereka dari jenis mereka, dan Allah ciptakan diantara mereka mawaddah (yakni, cinta), dan rahmat (yakni, kasih sayang). Sebab seorang suami akan mempertahankan istrinya karena cinta kepadanya atau sayang kepadanya dengan jalan wanita mendapatkan anak dari suami, atau ia butuh kepada suaminya dalam hal nafkah, atau karena kerukunan antara keduanya, dan sebagainya”. [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (3/568)]
Jadi, maksud adanya pernikahan adalah untuk menciptakan kecenderungan (ketenangan), kasih sayang, dan cinta. Sebab seorang istri akan menjadi penyejuk mata, dan penenang di kala timbul problema. Namun, jika istri itu durhaka lagi membangkang kepada suaminya, maka alamat kehancuran ada didepan mata. Dia tidak lagi menjadi penyejuk hati, tapi menjadi musibah dan neraka bagi suaminya.
Kedurhakaan seorang istri kepada suaminya amat banyak ragam dan bentuknya, seperti mencaci-maki suami, mengangkat suara depan suami, membuat suami jengkel, berwajah cemberut depan suami, menolak ajakan suami untuk jimak, membenci keluarga suami, tidak mensyukuri (mengingkari) kebaikan, dan pemberian suami, tidak mau mengurusi rumah tangga suami, selingkuh, berpacaran di belakang suami, keluar rumah tanpa izin suami, dan sebagainya.
Allah -Subhanahu wa Ta’la- telah mengancam istri yang durhaka kepada suaminya melalui lisan Rasul-Nya ketika Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِيْ عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat seorang istri yang tidak mau berterima kasih atas kebaikan suaminya padahal ia selalu butuh kepada suaminya” .[HR. An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (9135 & 9136), Al-Bazzar dalam Al-Musnad (2349), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2771), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (289)]
Tipe wanita seperti ini banyak disekitar kita. Suami yang capek banting tulang setiap hari untuk menghidupi anak-anaknya, dan memenuhi kebutuhannya, namun masih saja tetap berkeluh kesah dan tidak puas dengan penghasilan suaminya. Ia selalu membanding-bandingkan suaminya dengan orang lain, sehingga hal itu menjadi beban yang berat bagi suaminya. Maka tidak heran jika neraka dipenuhi dengan wanita-wanita seperti ini, sebagaimana sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,
أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ . قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ ؟ , قال: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ , لَوْ أَحْسَنْتَ إَلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ , ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا, قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْراً قَطُّ
“Telah diperlihatkan neraka kepadaku, kulihat mayoritas penghuninya adalah wanita, mereka telah kufur (ingkar)!” Ada yang bertanya, “apakah mereka kufur (ingkar) kepada Allah?” Rasullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, “Tidak, mereka mengingkari (kebaikan) suami. Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, “Saya sama sekali tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu”. [HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (29), dan Muslim dalam Shohih-nya (907)]
Pembaca yang budiman, jika para wandu mengetahui betapa besar kedudukan seorang suami di sisinya, maka mereka tidak akan berani durhaka dan membangkang kepada suaminya. Cobalah tengok hadits Hushain bin Mihshon ketika ia berkata, “Bibiku telah menceritakan kepadaku seraya berkata,
أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَعْضِ الْحَاجَةِ, قَالَ: (أَيْ هَذِهِ أَذَاتُ بَعْلٍ أَنْتِ), قُلْتُ : (نَعَمْ), قَالَ: (فَكَيْفَ أَنْتِ لَهُ), قَالَتْ: (مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ), قال: (فَأَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ, فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ)
“Saya mendatangi Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- untuk suatu keperluan. Beliau bertanya:”siapakah ini? Apakah sudah bersuami?.”sudah!”, jawabku. “Bagaimana hubungan engkau dengannya?”, tanya Rasulullah. “Saya selalu mentaatinya sebatas kemampuanku”. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Perhatikanlah selalu bagaimana hubunganmu denganya, sebab suamimu adalah surgamu, dan nerakamu”. [HR. An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (8963), Ahmad dalam Al-Musnad (4/341/no. 19025), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (2612), dan Adab Az-Zifaf (hal. 213)]
Dari hadits ini, kita telah mengetahui betapa besar dan agungnya hak-hak suami yang wajib dipenuhi seorang istri sampai Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمُرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Sekiranya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada lainnya, niscaya akan kuperintahkan seorang istri sujud kepada suaminya” . [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (1159), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (1998)]
Jika seorang istri tidak memenuhi hak-hak tersebut atau durhaka kepada suami, maka ia mendapatkan ancaman dari Allah -Ta’ala- lewat lisan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
اِثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا : عَبْدٌ أَبَقَ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ , وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ
“Ada dua orang yang sholatnya tidak melampaui kepalanya: budak yang lari dari majikannya sampai ia kembali, dan wanita yang durhaka kepada suaminya sampai ia mau rujuk (taubat)”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Ash-Shoghir (478), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (7330)]
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمْ آذَانَهُمْ : الْعَبْدُ اْلآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ , وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ , وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ
“Ada tiga orang yang sholatnya tidak melampaui telinganya: Hamba yang lari sampai ia mau kembali, wanita yang bermalam, sedang suaminya marah kepadanya, dan seorang pemimpin kaum, sedang mereka benci kepadanya”. [HR. At-Tirmidziy (360). Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1122)]
Ini merupakan ancaman yang amat keras bagi para wandu (wanita durhaka), karena kedurhakaannya menjadi sebab tertolaknya amal sholatnya di sisi Allah. Dia sholat hanya sekedar melaksanakan kewajiban di hadapan Allah. Adapun pahalanya, maka ia tak akan mendapatkannya, selain lelah dan capek saja. Wal’iyadzu billahmin dzalik.
Al-Imam As-Suyuthiy-rahimahullah- berkata dalam Quuth Al-Mughtadziy saat menjelaskan kandungan dua hadits di atas, “Maksudnya, sholatnya tak terangkat ke langit sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas di sisi Ibnu Majah, “Sholat mereka tak akan terangkat sejengkal di atas kepala mereka”. Ini merupakan perumpamaan tentang tidak diterimanya amal sholatnya sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas di sisi Ath-Thobroniy, “Allah tak akan menerima sholat mereka” sampai ia rujuk (kembali)…” [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (2/291)]
Diantara bentuk kedurhakaan seorang istri kepada suaminya, enggannya seorang istri untuk memenuhi hajat biologis suaminya. Keengganan seorang istri dalam melayani suaminya, lalu suami murka dan jengkel merupakan sebab para malaikat melaknat istri yang durhaka seperti ini. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا دَعَا الَّرُجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami mengajak istrinya (berjimak) ke tempat tidur, lalu sang istri enggan, dan suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka para malaikat akan melaknat sang istri sampai pagi”. [HR. Al-Bukhoriy Kitab Bad'il Kholq (3237), dan Muslim dalam Kitab An-Nikah (1436)]
Seorang suami saat ia butuh pelayanan biologis (jimak) dari istrinya, maka seorang istri tak boleh menolak hajat suaminya, bahkan ia harus berusaha sebisa mungkin memenuhi hajatnya, walaupun ia capek atau sibuk dengan suatu urusan. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا, وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
“Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, seorang istri tak akan memenuhi hak Robb-nya sampai ia mau memenuhi hak suaminya. Walaupun suaminya meminta dirinya (untuk berjimak), sedang ia berada dalam sekedup, maka ia (istri) tak boleh menghalanginya”. [HR. Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (1853). Hadits ini dikuatkan oleh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 211)]
Perhatikan hadits ini, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan bimbingan kepada para wanita yang bersuami agar memperhatikan suaminya saat-saat ia dibutuhkan oleh suaminya. Sebab kebanyakan problema rumah tangga timbul dan berawal dari masalah kurangnya perhatian istri atau suami kepada kebutuhan biologis pasangannya, sehingga “solusinya” (baca: akibatnya) munculllah kemarahan, dan ketidakharmonisan rumah tangga.
Syaikh Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam Adab Az-Zifaf (hal. 210), “Jika wajib bagi seorang istri untuk mentaati suaminya dalam hal pemenuhan biologis (jimak), maka tentunya lebih wajib lagi baginya untuk mentaati suami dalam perkara yang lebih penting dari itu, seperti mendidik anak, memperbaiki (mengurusi) rumah tangga, dan sejenisnya diantara hak dan kewajibannya”.
Seorang wanita yang durhaka kepada suaminya, akan selalu dibenci oleh suaminya, bahkan ia akan dibenci oleh istri suaminya dari kalangan bidadari di surga. Istri bidadari ini akan marah. Saking marahnya, ia mendoakan kejelekan bagi wanita yang durhaka kepada suaminya..
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ , قَاتَلَكِ اللهُ , فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”. [HR. At-Tirmidziy Kitab Ar-Rodho' (1174), dan Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (2014). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 212)]
Cukuplah beberapa hadits yang kami bacakan dan nukilkan kepada Anda tentang bahayanya seorang wanita melakukan kedurhakaan kepada suaminya, yakni tak mau taat kepada suami dalam perkara-perkara yang ma’ruf (boleh) menurut syari’at. Semoga wanita-wanita yang durhaka kepada suaminya mau kembali berbakti, dan bertaubat sebelum ajal menjemput. Pada hari itulah penyesalan tak lagi bermanfaat baginya.

wanita itu aurat..

sumber: akhwat.web

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Sunan-nya (no. 1173) berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ashim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Muwarriq, dari Abul Ahwash, dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

“Wanita itu aurat, maka bila ia keluar rumah, setan terus memandanginya (untuk menghias-hiasinya dalam pandangan lelaki sehingga terjadilah fitnah).” (Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3109, dan Al-Irwa’ no. 273. Dishahihkan pula oleh Al-Imam Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36) الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Yang namanya aurat berarti membuat malu bila terlihat orang lain hingga perlu ditutupi dan dijaga dengan baik. Karena wanita itu aurat, berarti mengundang malu bila sampai terlihat lelaki yang bukan mahramnya. (Tuhfatul Ahwadzi, Kitab Ar-Radha’, bab ke-18)
Sehingga tetap tinggal di dalam rumah itu lebih baik bagi si wanita, lebih menutupi dirinya dan lebih jauh dari fitnah (godaan/gangguan). Bila ia keluar rumah, setan berambisi untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang-orang dengan sebab dirinya. Tidak ada yang selamat dari fitnah ini kecuali orang-orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang disyariatkan bagi wanita muslimah yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhir adalah tinggal di dalam rumahnya tanpa keluar kecuali bila ada kebutuhan, dengan mengenakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya dan tidak memakai perhiasan berikut wangi-wangian, dalam rangka mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)

“Apabila kalian meminta sesuatu keperluan kepada mereka maka mintalah dari balik hijab/ tabir, yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53) وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Bila wanita tidak mengamalkan tuntunan syariat yang suci ini, ia akan jatuh dalam jeratan dan perangkap para lelaki yang fasik dan pendosa. Terlebih lagi bila keluarnya itu menuju ke pasar, mal, tempat rekreasi, dan tempat-tempat keramaian yang di situ terjadi ikhtilath (campur baur lelaki dan wanita). Alangkah banyaknya wanita seperti itu di zaman ini. Demikian keterangan dari Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wAl-Ifta’, fatwa no. 19930, yang ketika itu masih diketuai oleh Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu.
Banyak orang tidak mengetahui hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Kalaupun ada yang mengetahuinya, mereka berusaha menolaknya karena tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka dengan mengatakan haditsnya lemah, tidak terpakai, merendahkan kaum wanita, tidak sesuai dengan perkembangan zaman, dan ucapan semisalnya.

Demikianlah. Karena jauhnya zaman ini dengan masa kenabian, ditambah lagi kebodohan yang tersebar luas di kalangan kaum muslimin dan hawa nafsu yang mendominasi, banyak ajaran dan aturan agama Islam yang dianggap aneh, asing, dan tidak lumrah. Termasuk keberadaan wanita sebagai aurat, sehingga harus ditutupi dari pandangan lelaki ajnabi (non-mahram), sulit diterima oleh kebanyakan orang bahkan oleh kaum wanita sendiri. Yang dianggap biasa justru keberadaan wanita yang berkeliaran di luar rumah, hilir mudik tanpa malu di depan lelaki ajnabi, tanpa mengenakan busana yang syar’i, malah memamerkan kemolekan wajahnya dan keindahan anggota tubuhnya, kebagusan dandanannya, serta semerbak aroma tubuhnya. Wallahul musta’an (Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah tempat meminta pertolongan).
Ketahuilah, hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas telah pasti keshahihannya. Bila suatu hadits dikatakan shahih dari ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti benar-benar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengucapkannya. Beliau berucap tidaklah dari hawa nafsu, tapi dari wahyu yang beliau terima sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
Al-Hafizh Ibnu Katsir, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau, menerangkan tafsir ayat di atas, “Maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan satu ucapan/ perkataan karena dorongan hawa nafsu dan karena satu tujuan tertentu. Beliau hanyalah mengucapkan apa yang diperintahkan kepada beliau untuk disampaikan kepada manusia secara sempurna, utuh, tanpa ada tambahan dan pengurangan.” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 7/340)
Sahabat yang mulia, putra dari sahabat yang mulia, Abdullah ibnu ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma memberitakan, “Aku biasa menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena aku ingin menghafalnya. Maka orang-orang Quraisy melarangku dengan mengatakan, ‘Jangan engkau tulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah itu manusia biasa, bisa berucap dalam keadaan marah maupun senang.’
Aku pun berhenti menulis apa yang kudengar dari beliau, lalu kuceritakan hal itu kepada beliau. Beliau memberi isyarat dengan jari beliau ke mulut beliau seraya bersabda:

“Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dari lisan ini kecuali al-haq/ kebenaran.” (HR. Abu Dawud no. 3646, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 1196 dan Ash-Shahihah no. 1532) اكْتُبْ، فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ
Karena kepastian berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa wanita itu aurat, maka hendaklah wali para wanita, baik dari kalangan ayah, paman, kakek, saudara laki-laki ataupun suami, memerhatikan keberadaan wanita mereka serta memiliki kecemburuan terhadap wanita mereka. Jangan biarkan mereka (para wanita) keluar rumah tanpa ada kebutuhan, atau keluar rumah tanpa mengenakan pakaian yang syar’i, yang menutup tubuh mereka sebagai aurat mereka.
Bagi para wanita sendiri, hendaklah mereka bersegera berpegang dengan tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena di dalamnya pasti ada kebaikan bagi mereka.

Apakah Suara Wanita Aurat?
Terkait dengan keberadaan wanita sebagai aurat, mungkin tersisa pertanyaan di benak. Bagaimana dengan suara wanita, apakah termasuk aurat? Lalu bagaimana dengan keberadaan sahabiyah dahulu yang berbicara dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dengan para sahabat? Bagaimana pula keberadaan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha atau wanita-wanita selainnya, yang mengajarkan ilmu dan menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat dan orang-orang yang datang setelah generasi sahabat? Bukankah ini menunjukkan wanita boleh berbicara dan memperdengarkan suaranya kepada lelaki ajnabi?

Al-Lajnah Ad-Da’imah dalam fatwa (no. 8567) pernah memberikan jawaban tentang hal ini. Disebutkan bahwa suara wanita bukanlah aurat, tidak haram bagi lelaki ajnabi untuk mendengarkannya terkecuali bila suara itu diucapkan dengan mendayu-dayu, mendesah dan dilembut-lembutkan karena yang seperti ini haram dilakukan si wanita di hadapan selain suaminya dan haram bagi lelaki ajnabi mendengarkannya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Wahai istri-istri nabi, kalian tidak sama dengan wanita-wanita yang lain, jika kalian bertakwa maka janganlah kalian melembutkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32) يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Dalam fatwa no. 5167, Al-Lajnah menyatakan wanita merupakan tempat penunaian syahwat lelaki, maka kaum lelaki memiliki kecondongan kepada wanita agar tertunai nafsu syahwatnya. Bila si wanita mendayu-dayu dalam berbicara, tentunya fitnah akan semakin bertambah. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin, para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bila mereka meminta kebutuhan atau suatu barang kepada wanita yang bukan mahramnya, hendaknya meminta dari balik hijab. Tidak langsung bertemu wajah dengan si wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Apabila kalian meminta sesuatu keperluan kepada mereka maka mintalah dari balik hijab/tabir, yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” 
(Al-Ahzab: 53) وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga melarang para wanita melembutkan suara mereka ketika berbicara dengan lelaki ajnabi agar jangan sampai lelaki yang punya penyakit di hatinya berkeinginan jelek terhadap si wanita.
Bila perintah ini dititahkan di zaman Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam keadaan kaum mukminin kuat imannya dan mulia jiwanya, lalu bagaimana dengan zaman ini, di mana iman semakin melemah dan sedikit orang yang berpegang dengan agama? Karenanya, wajib bagimu wahai wanita untuk tidak bercampur baur dengan lelaki ajnabi dan tidak berbicara dengan mereka kecuali bila ada kebutuhan yang sifatnya darurat dengan tidak mendayu-dayukan dan melembutkan suara, berdasarkan dalil ayat yang telah disebutkan.
Dengan penjelasan ini tahulah engkau, wahai wanita, bahwa semata-mata suara yang tidak disertai dengan kelembutan dalam berbicara bukanlah aurat, karena dulunya para wanita/sahabiyah berbicara dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada beliau tentang perkara agama mereka. Demikian pula mereka mengajak bicara para sahabat sehubungan dengan kebutuhan mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari perbuatan mereka tersebut. (dari kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta’, 17/202-204)

Sehubungan dengan suara wanita ini, sangatlah disayangkan adanya sebagian orang yang bermudah-mudahan dengan berdalih suara wanita bukan aurat. Sampai-sampai ada guru lelaki yang mengajarkan Al-Qur’an kepada para wanita dengan men-tasmi’, yaitu mendengarkan bacaan Al-Qur’an para wanita yang diajarinya, guna membetulkannya bila ada kesalahan. Sementara kita semua maklum bagaimana suara wanita yang membaca Al-Qur’an. Siapa yang bisa menjamin wanita tersebut tidak melagukan suaranya saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an? Bila kondisinya seperti ini, bagaimana dengan sang guru, apakah ia bisa menjamin hatinya akan selamat dari fitnah?

Ada pula guru lelaki yang berani mengajarkan percakapan bahasa Arab (muhadatsah) kepada para wanita. Sementara, sebagai satu metode pengajaran muhadatsah, sang guru mengajak bicara satu atau lebih murid wanitanya untuk bercakap-cakap dalam bahasa Arab. Mungkin sang guru mengatakan, “Kaifa haluk?”
Muridnya menjawab, “Alhamdulillah ana bi khair, wa anta…?” Dan seterusnya.
Kita bisa membayangkan bagaimana nada suara murid wanita itu dalam percakapan tersebut! Wallahul musta’an.

Contoh di atas kita bawakan tidak lain sebagai nasihat dan peringatan bagi diri pribadi dan saudara-saudara sekalian, agar kita semua tidak menggampangkan permasalahan ini. Juga agar kita menjaga diri dari fitnah dan memerhatikan keselamatan hati-hati kita. Karena, sebagaimana perkataan hikmah dari ulama kita: Selamatnya hati tak dapat ditandingi/dibandingkan dengan sesuatu pun.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kita kepada apa yang diridhai dan dicintai-Nya. Amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab